...Izinkan Kami Berkumpul Kembali di Surga...
Pagi ini matahari terlihat cukup cerah,
Seperti tiga hari sebelumnya aku berangkat dengan memakai seragam putih biruku
untuk melaksanakan ujian nasional hari terakhir tingkat SMP. Tak ada yang
berbeda dengan hari sebelumnya, aku telah menyiapkan diri untuk UN B.Inggris
pada hari ini, namun perasaan hatiku
sedikit berbeda, hatiku gundah dan kurang tenang. Aku masih teringat wajah ayah
Satu jam lalu yang tergulai lemah di rumah akibat penyakit yang dideritanya. Aku
berangkat ke sekolah dan tak lupa mencium tangan ayah untuk meminta do'a agar
diberi kemudahan dalam ujian pada hari ini. Senyum selalu tersimpul di wajah ayah
yang sudah keriput, padahal sakit yang diderita ayah menyulitkannya untuk
sekadar tersenyum. Hanya ada aku, Della adikku, dan ayahku yang tinggal di
rumah sederhana hasil kerja ayah sebelum menderita penyakit itu. Sedangkan ibu,
kini menggantikan posisi ayah mencari nafkah untuk hidup dan mengobati penyakit
ayah dengan bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.
Ibu bekerja disana
sejak ayah menderita penyakit kanker dua tahun yang lalu. Selama Ayah sakit,
selama itu pula Ibu tak ada disini, hanya ada paket kiriman yang datang rutin
setiap bulan, paket yang berisi surat yang menceritakan kondisi ibu disana dan
uang yang cukup untuk hidup sebulan kedepan dan biaya untuk pengobatan ayah.
Bukannya ibu tak sayang pada ayah, aku, dan Della, tapi keputusan dua tahun
silam memang tanda cinta ibu dalam bentuk yang berbeda. Sebagai anak tertua aku
bertanggung jawab menggantikan posisi ibu untuk menjaga Della dan merawat ayah
yang sedang sakit.
Hari kelulusan telah tiba, aku mendapat nilai kedua tertinggi di sekolahku,
dan tertinggi ketiga di provinsiku. Aku sangat senang dan aku ingin segera
mengabarkan berita bahagia itu kepada ayah dan Della yang ada di rumah, serta
ibu yang ada di negeri nan jauh disana. Setelah mengirimkan surat untuk ibuku, aku
segera bergegas meninggalkan kantor pos untuk segera pulang ke rumah. Jika
tidak ada masalah dalam distribusi maka tiga hari kedepan surat itu akan sampai
ke tangan ibu.
Bulan
ini ibu belum mengirim uang untuk kami bertiga, tidak biasanya kiriman terlambat
sampai 3 minggu, pertanyaan serta kekhawatiran tentang kondisi ibu pun muncul di
benakku. Belum juga pertanyaan itu terjawab, aku dihadapkan dengan kondisi ayah
yang semakin parah, badannya tinggal kulit dan tulang, badannya kejang, aku
kaget dan panik dengan kondisi ini. Aku segera membawa ayahku ke rumah sakit
terdekat dengan meminjam becak milik tetanggaku yang kebetulan sedang tidak
beroperasi. Dengan seragam yang sudah lusuh dan basah dengan keringat, aku
terus mengayuh becak menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 5 km. Aku takut
kehilangan ayahku.
Siang
hari ini sangat berat buatku, selain harus menenangkan diriku sendiri, ia juga
harus menenangkan adik kecilku yang dari tadi terus menangis. Ayah sedang
ditangani oleh dokter, aku dan Della hanya bisa berdo’a pada Allah, soal biaya aku
bisa memakai uang untuk kuliahku yang telah aku kumpulkan sejak SD. Aku percaya
kepatuhanku terhadap orangtua akan membawaku kepada kesuksesan.
Hari
sudah semakin petang, mentari hampir tenggelam di ufuk barat bersama sinarnya
yang telah menerangi sepanjang hari, hari yang tak akan terlupakan bagi aku.
Dokter keluar dari ruang penanganan, wajahnya datar sehingga aku sama sekali tak
bisa menangkap apa arti dari raut muka dokter itu. Jantungku tiba-tiba berdebar
kencang saat dokter semakin dekat menghampiri dan mengatakan bahwa ayah telah
bersama sang pencipta. Aku semakin lemas, tergulai dengan tangisan yang tak
terbendung lagi, Della pun semakin menangis histeris, semua ini bagai mimpi
buruk bagiku. Aku tak menyangka ayah pergi begitu cepat, tanpa hadirnya ibu yang
mungkin bisa menenangkan perasaan kami yang belum mengerti. Kematian telah
memisahkan aku dan Della dengan ayah, orang yang selama dua tahun terakhir
selalu bersama kami. Kematian telah memisahkan sesuatu yang awalnya satu,
karena memang dunia ini hanya sebuah tempat transit.
Kesedihan
sangat aku rasakan, terlebih bagi Della, mengurus jenazah bukanlah hal yang
mudah bagi anak seumuran kami, untunglah ada banyak tetangga yang mau membantu
kami mengurus jenazah ayah mulai dari memandikan sampai menguburkan. Aku telah
menerima kepergian ayah dengan ikhlas, namun ketidakberadaan ibu di
tengah-tengah kami membuat kesedihan datang kembali, kesedihan akan hidup sepi
tanpa orangtua disisi.
Entah
mengapa ibu tak bisa dihubungi, kabar kematian ayah pun belum aku kabarkan pada
ibu. Sebagai orang yang telah mendampingi ayah lebih dari 16 tahun tentu ibu
berhak tahu akan kabar ayah, termasuk kabar meninggalnya ayah.
Jenazah
telah selesai disholatkan, sekarang jasad ayah hanya tinggal dimakamkan di TPU
dekat rumah. Matahari setinggi tombak dengan sinarnya yang terang menemani
proses pemakaman ayah. Aku cukup tegar walau aku tak bisa membohongi kepedihan
hatiku dengan tetesan air mata yang tanpa sadar mengalir deras di pipiku.
Sedangkan Della tak sanggup untuk ikut ke pemakaman, ia tetap tinggal di rumah
ditemani tetanggaku.
Waktu
dzuhur telah tiba, rombongan pengantar pemakaman ayah telah kembali ditemani
sinar matahari siang yang cukup terik. Aku merasa lelah karena tidak tidur
sejak kemarin, aku memutuskan untuk istirahat sejenak setelah selesai
menunaikan sholat dzuhur bersama Della.
Baru saja aku akan
masuk ke alam mimpiku, tiba-tiba pintu rumahku diketuk seseorang yang memanggil
namaku, suara itu tidak asing terdengar di telingaku. Ternyata suara itu adalah
suara bu Yasmin, tetangga samping rumahku yang selalu membantu aku dan keluargaku,
beliaulah orang kepercayaan ibu untuk menjaga aku dan Della. Memang sudah lama
ibu tidak memberi kabar kepada bu Yasmin melalui telepon, namun siang itu akhirnya
salah satu nomor telepon Arab Saudi muncul juga di telepon milik bu Yasmin. Bu
Yasmin membiarkan teleponku tetap menyala ketika ia pergi untuk memberi tahu
kabar ini kepadaku dan Della. Kabar yang memunculkan harapan dan kebahagiaan
baru bagiku dan Della. Dengan segera aku pergi ke rumah bu Yasmin. Ketika gagang
telepon diletakkan di telingaku hanya ada suara “nuuuutttt-nuuuttt”, tanda
telepon terputus. Harapan itu seperti hilang dalam sekejap bersamaan dengan
hilangnya suara “nuuttt” yang terdengar di telepon tadi.
Bu Yasmin segera
memeriksa telepon yang tadi terputus, ternyata ada sebuah pesan suara dari ibu.
Pesan yang singkat namun sangat bermakna, “Bu
Yasmin, aku tak bisa lama-lama, tolong sampaikan pada Ardhi dan Della kalau aku
rindu dan akan selalu mendoakan mereka dan juga untuk ayah yang sudah tiada. Aku
akan segera kembali merajut hari bersama kalian. Aku tak mau kehilangan orang
yang aku cintai sedangkan aku tak bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Aku
ingin kembali berkumpul bersama anak-anakku tersayang. Ibu akan kembali untuk
kalian, Ardhi dan Della. Terima kasih Yasmin. “.
Aku tersentak dan
suasana hati seakan dapat merasakan keberadaan ibu dihadapanku. Walau aku
seorang lelaki tapi aku tak dapat memungkiri rasa rindu yang mendalam pada ibu.
Tetes air mata mengalir membasahi pipiku. Aku pun kembali ke rumah dengan
sebuah harapan suatu saat nanti ibu akan segera kembali menemani aku dan Della
yang tak punya siapa-siapa lagi. Hanya do’a yang bisa terus ku panjatkan pada
sang Maha Kuasa.
Seminggu setelah
kepergian ayah membuat aku dan Della semakin ikhlas dan tabah, untungnya ada Bu
Yasmin yang selalu siap membantu mereka jika ada suatu kekurangan dalam hal
finansial. Hari pendaftaran murid baru akan segera berakhir tiga hari kedepan,
hampir saja aku lupa kalau aku harus tetap melanjutkan sekolah untuk menggapai
mimpi-mimpi masa kecilku. Kini masa liburan telah habis, liburan yang tak akan
terlupakan bagiku, liburan yang sepi tanpa ayah, menyelusuri kekutaan hidup
yang akan dialami oleh setiap orang, meninggalkan atau ditinggalkan.
Kini aku telah
duduk di bangku SMA, kini Aku telah menata hidupku kembali, membuka lembaran
baru dengan semangat baru pula. Hanya ada satu permintaanku yang selalu ku
panjatkan dalam setiap do’a dalam sholatku, aku ingin ibu segera kembali,
sudahi bekerja disana, lebih baik disini rumah kita sendiri. Siangnya aku
pulang lebih awal karena KBM memang belum dimulai. Tiba-tiba langkahku terhenti
tepat di halaman rumahku, Aku merasa ada sesuatu yang berbeda, aku melihat
sebuah sandal yang tertata rapi di depan rumah, sandal yang dua tahun ia lihat
terakhir sebelum pesawat mengantarkan ibu terbang ke Arab Saudi. Aku bergegas masuk
ke dalam rumah, naluri antara ibu dan anak terasa kuat, aku merasakan kehadiran
sosok wanita yang paling kucintai hadir di dekatku. Aku melihat seorang wanita
berkerudung panjang duduk sambil memeluk dan menangisi foto ayah. Tidak salah
lagi, itu ibu, ibu yang selama ini kehadirannya selalu dirindukan oleh aku dan
Della. Aku segera memeluk ibu, tangis haru dan rasa syukur menemani pertemuan
kami. Kini penantian telah berujung, entah berapa ribu do’a yang telah
terpanjat hingga kini semua itu bukan hanya sebatas mimpi dan do’a, tapi telah
menjadi sebuah kenyataan dari suratan Ilahi. Aku sangat senang ibu sudah
kembali, kini hanya do’a yang bisa aku kirimkan untuk ayah di alam yang
berbeda, yang telah pergi menuju keabadian mendahului kami. Aku hanya berharap
Tuhan mengizinkan kami berkumpul kembali di surga yang abadi.
….. The end ….
Komentar
Posting Komentar